Pernikahan dan Affair

Minggu, 15 September 2013

Pernikahan dan Affair


Tak ada lagi batas untuk diruntuhkan, tak ada lagi mata rantai untuk dipatahkan selain pikiranmu sendiri. 
Kemabukan yang begitu tenang. Hasrat untuk hidup bebas, mencinta dan melarikan diri. 
Mimpi-mimpi telah mendahagakan diri akan harapan, menggigit dan menekan hidup. 
Interlude yang menggeliat, gerak yang melilit jemari, tangan yang meremas lembut dalam genggaman, melepaskan orgasme kemerahanmu lebih daripada aksi apapun. 
Cinta tak akan terdefinisikan, begitu subtil.
Maka saat itulah affair cintaku dengan sebuah spirit yang tak bernama bermula...



"Ai sia teu hayang cinta maneh abadi" (apakah kamu ga mau cinta kamu abadi). Salah seorang kawan bertanya padaku, dia merasa heran dengan kelakuanku yang akhir-akhir ini menjalankan hubungan affair dengan wanita yang sudah bersuami, Entahlah.., tapi bagiku cinta abadi itu memang tidak ada bagaimana bisa aku berharap keabadian pada makhluk yang tidak abadi, mencari cinta yang abadi bagiku adalah kesia-sian,

"Sia teu mikir geus ngarusak rumah tangga batur"  (kamu ga berpikir telah merusak rumah tangga orang)." lanjut kawanku. Bagaimana aku berpikir itu merusak bagiku affair dengan pernikahan adalah sesuatu hal yang berbeda. Pernikahan dan Affair tidak ada kaitanya sama sekali.

Mitologi-mitologi yang tersebar dari dunia Barat hingga ke Timur, memberitahukan satu hal: pernikahan adalah sebuah reuni dari dua sisi yang saling melengkapi. Awalnya kita semua adalah satu. Melalui pernikahan kita adalah dua di atas dunia, tapi poin yang ada jelas bukan hal tersebut, melainkan pertemuan kembali dua identitas spiritual. Inilah mengapa pernikahan seharusnya dibedakan dari affair cinta. Pernikahan tidak ada kaitannya dengan hal tersebut.

Affair cinta adalah sebuah pengalaman spiritual yang berbeda, yang tidak menjejakkan kaki di atas tanah yang sama, walaupun berhubungan. Saat satu pasangan menikah karena mereka berpikir bahwa pernikahan adalah sebuah affair cinta jangka panjang, mereka akan bercerai pada satu saat nanti—kalaupun tidak bercerai, mereka hanya berjalan berbarengan secara fisikal tanpa kedekatan spiritual apapun—karena semua affair cinta akan berakhir dengan kepedihan. Saat kita hidup dengan mengikuti kata hati kita sendiri, kita akan menemukan pasangan kita, baik lelaki ataupun perempuan, karena kita telah membuka medan magnet yang tersembunyi dalam diri kita sendiri. Kita membuka medan magnet tersebut justru dengan mulai hidup, bertindak, berpikir seperti adanya diri kita sendiri, bukan dengan sekedar hidup seperti yang orang lain inginkan atau hidup demi nilai-nilai artifisial orang lain. Saat kita mendengarkan diri kita sendiri, membiarkan hati kita menuntun hidup kita, maka kita akan menemukan orang lain yang tepat untuk menjadi pasangan kita. Saat kita memilih pasangan berdasarkan kriteria-kriteria yang ditentukan oleh orang lain atau bahkan masyarakat, khususnya masyarakat modern, kita akan selalu terjebak pada kriteria-kriteria fisikal—kriteria-kriteria yang lebih cocok untuk affair cinta. Dengannya, kita menikahi orang yang tidak tepat. Tapi saat kita menikahi orang yang tepat, sadar atau tidak, kita telah merekonstruksi citra inkarnasi Tuhan, itulah arti sebuah pernikahan.

Tapi apabila pernikahan adalah sebuah pertemuan kembali, reuni, dari diri dengan diri, lantas mengapa Emma Goldman misalnya, begitu menentang pernikahan? Seperti kita ketahui, Emma Goldman bukanlah seorang materialis murni, karena ia juga percaya dengan keberadaan diri, dengan spiritual, dan bahkan eksistensi takdir, walaupun ia adalah seorang anarkis yang begitu peduli pada apapun yang bersifat material.

Di bawah hegemoni dunia modern, apa yang kita kenal dengan pernikahan bukan lagi sebuah pernikahan seperti yang dijabarkan di atas. Pernikahan adalah sebuah pertemuan dua diri secara spiritual. Aspek biologis dan fisikal, adalah sesuatu yang melengkapi tapi tidak menjadi sesuatu yang primer, apabila keduanya menjadi primer seringkali kedua hal tersebut membawa kita pada identifikasi yang tidak tepat. Seringkali, pernikahan yang sesungguhnya, justru tidak diresmikan atau dilegalkan di bawah Undang-Undang ataupun hukum pernikahan yang berlaku, saat pernikahan di era modern justru mengikat segalanya dengan berbagai aturan tertulis, penuh ancaman hukuman, dan karenanya, ikatan yang terjadi hanyalah sebuah ikatan di atas kertas bermeterai, bukan lagi ikatan berdasar etos. Kita selalu dihadapkan pada sesuatu yang bersifat fisik: kecantikan, ketampanan, kemapanan dan stabilitas ekonomi, legalitas yang disahkan di atas kertas, kehadiran penghulu. Fisik, fisik, dan fisik.

Tapi fisik juga bukan sesuatu yang seharusnya dihindari, terutama karena aku bukan seorang pendeta yang bercita-cita menjadi malaikat—makhluk spiritual tanpa ujud fisik. Aku adalah seorang manusia, yang memiliki aspek spiritual tapi juga ujud fisikal. Demikian juga dalam pernikahan, fisik juga sesuatu yang membuatnya lengkap tapi bukan sesuatu yang primer. Ada dua tahap dalam pernikahan. Pertama, adalah gairah yang mendorong impuls-impuls yang indah yang diberikan pada kita oleh alam dalam permainan seks yang secara biologis dapat memproduksi sebuah kehidupan baru. Seorang anak, adalah kehidupan lain di mana ia (atau mereka, apabila sang anak lebih dari satu) mengikatkan sekaligus menginisiasi relasi pernikahan untuk memasuki tahap selanjutnya. Pada saat sang anak beranjak dewasa, memilih hidupnya sendiri dan meninggalkan kedua orangtuanya, pernikahan memasuki tahap berikutnya. Saat inisiasi yang tanpa sadar diberikan oleh sang anak, seringkali kedua orangtuanya melihat bahwa pernikahan diikat oleh keberadaan sang anak, di mana mata rantainya adalah sang anak itu sendiri. Apabila demikian yang terjadi, maka kepergian sang anak akan membawa pergi juga pernikahan yang belum sempat memasuki tahap kedua. Dengan kata lain, pernikahan telah gagal dalam program inisiasi yang diberikan oleh sang anak.

Pernikahan juga bukan sebuah relasi. Relasi adalah keberadaan dua individu yang tetap sebagai individu, sementara seperti tadi kupaparkan di atas, pernikahan adalah peleburan dua individu menjadi satu, secara spiritual. Saat kita mengorbankan diri dalam pernikahan, pengorbanan tersebut bukanlah pengorbanan atas pasangan kita, melainkan pengorbanan demi kesatuan. Citra Cina atas Tao, dengan gelap dan terang berinteraksi—itulah kesatuan dari yin dan yang, satu yang tak dapat menjadi utuh tanpa lainnya, bagiku itulah arti pernikahan.

Pernikahan, adalah transendensi. Sementara affair cinta, adalah relasi. Pernikahan, adalah pengalaman spiritual. Sementara pernikahan di bawah dunia modern, adalah konstruksi sosial. Apabila yang kita kehendaki adalah transendensi, maka pengalaman tersebut tidak selalu perlu untuk hadir sebagai sebuah pernikahan legal di bawah dunia modern. Di titik ini, aku bergabung dengan Emma Goldman, atau juga Friedrich Engels yang melihat keluarga sebagai bagian terkecil dari struktur hirarki kekuasaan sosial.


0 komentar :

Posting Komentar