Alienasi Posmodern, Destruksi Diri, Revolusi, dan Fight Club (Part.3)
- “It's only after you've lost everything that you're free to do anything.”
- "You're not your job. You're not how much money you
have in the bank. You're not the car you drive. You're not the contents
of your wallet. You're not your fucking khakis. You're the all-singing,
all-dancing crap of the world."
- "People do it everyday. They talk to themselves. They see themselves as they'd like to be. They don't have the courage you have, to just run with it."
- "I say never be complete, I say stop being perfect, I say let... lets evolve, let the chips fall where they may."
(Tyler Durden,Fight Club)
Kelahiran Project Mayhem, “Tujuan Project Mayhem adalah penghancuran yang langsung dan komplit atas peradaban.” Mereka mulai membiarkan orang-orang dari Fight Club tinggal bersama mereka, setiap orang membawa seminimal mungkin perlengkapan untuk bertahan hidup. Tyler menyebut mereka sebagai “space monkeys”, sebagaimana monyet-monyet yang dijadikan bahan penelitian NASA, diluncurkan pertama kalinya ke luar angkasa, ke daerah-daerah yang belum tereksplorasi oleh manusia, monyet-monyet yang dikorbankan untuk kepentingan tujuan manusia yang lebih besar. Tyler menerangkan kepada mereka semua segala yang ia ketahui dalam soal kimia: bagaimana membuat napalm dan peledak dari sabun. Vandalisme merebak di kota-kota, dan semuanya dilakukan dengan semangat permainan yang tinggi, sebagaimana yang terlihat saat dilakukan peledakan dua buah ruang apartemen sebuah gedung, hal tersebut dibuat menjadi tampak seperti logo smiley face. Polisi mulai menyelidiki dan berniat menutup klub tersebut yang menurut kabar terlibat dalam sebuah gelombang aksi terorisme, tetapi hal tersebut dengan segera dihentikan saat Tyler dan sebagian kecil kelompoknya mengancam kepala kepolisian untuk menghentikan aksinya atau kemaluannya akan dikastrasi. Ini adalah sebuah simbol, dimana para anggota Fight Club tersebut mengancam untuk mengambil sesuatu yang secara implisit menjadi simbol otoritas kelelakian, dimana sang kepala polisi tidak mau membiarkannya terjadi. Salah seorang dari grup yang dibentuk oleh Tyler, yang secara eksplisit menyiratkan ketampanan, dipukuli oleh sang narator dalam sebuah perkelahian, penghancuran sebuah wajah yang indah. Ini juga menyiratkan secara simbolik tentang bagaimana kita kemuakan kita akan masyarakat membuat kita ingin menghancurkan apapun yang olehnya dianggap sebagai sesuatu yang bagus dan indah. Tidak lama setelah itu terjadi, narator menjadi seseorang yang justru tidak menjadi bagian di dalam Project Mayhem itu sendiri.
Saat sahabat sang narator, Bob, meninggal karena ditembak tepat di kepala oleh seorang polisi saat ia sedang menjalankan aksinya, sang narator mulai memberontak terhadap Tyler, justru bersamaan dengan saat dimana Tyler seakan menghilang dari muka bumi. Sang narator akhirnya justru melakukan apa yang didorong untuk lakukan oleh Tyler: hit the bottom. Atau dapat kita katakan sebagai “poin yang tak memiliki titik balik”, sebagaimana lalu dikatakan oleh sang narator, “Aku memang tolol, dan apapun yang kulakukan adalah sekedar menginginkan sesuatu dan membutuhkan sesuatu.” Dalam point terendahnya, sang narator mulai menyadari gambaran keseluruhan: bahwa ia adalah Tyler Durden. Tyler adalah personalitas disasosiatif yang dibawa oleh insomnia yang diderita oleh sang narator, kebencian akan kehidupan komersialnya dan hasrat terpendamnya atas Marla, yang juga menggaris bawahi keseluruhan kisah, kini mulai terkuak ke permukaan. Dalam dunia nyata, Tyler adalah bagian dari setiap diri kita yang tak puas saat memandang iklan di televisi, dan diatur untuk melakukan apa yang sebenarnya bukan keinginan kita. Ia hadir dalam setiap billboard yang kita pandang, setiap titik air mata yang menetes atas kesepian yang mendera, dan setiap impuls yang muncul saat kita berpikir bahwa kapitalisme bukanlah jawaban bagi kehidupan spiritual kita. Ia adalah setiap diri kita yang tak puas saat melihat mobil-mobil mewah berseliweran di jalanan, atau melihat para idiot dengan kunci mobil tergantung di saku belakang celananya, beruaha menikmati makanan di restauran termahal. Ia adalah setiap diri kita yang mulai percaya bahwa kita tak akan dapat menjadi bintang, yang membenci pekerjaan kita, yang benci menjadi pelayan bagi orang lain. Sang narator akhirnya berusaha untuk mengakhiri Project Mayhem dengan kekuatannya, tapi Tyler telah memprediksikan semuanya. Yang pada akhir kisah, Project Mayhem berencana untuk meledakkan setiap gedung yang menyimpan data kartu kredit di negara itu. Dan pada akhir film, kita kembali ke awal dimana sang narator terduduk di kursi dan sepucuk pistol diacungkan ke hadapannya, memaksanya untuk menyimak sebuah awal dari revolusi. Hanya dengan merealisasikan bahwa imaji Tyler bukanlah sesuatu yang nyata, maka ia dapat mengalahkan Tyler. Pada akhirnya, sang narator meledakkan pistol di mulutnya sendiri dalam usahanya untuk membunuh Tyler, melepaskan Tyler dari dirinya.
Tapi sang narator tidak mati, peluru tertembakkan menembus pipinya, sementara Tyler menemui ajalnya. Sang narator berkata, “Kadang engkau harus hit the bottom untuk membuat dirimu lebih baik.” Baginya diperlukan sebuah ledakan pistol di mulutnya untuk membuatnya sungguh-sungguh menemukan sebuah poin yang tak memiliki titik balik, dan saat ia melakukannya, seluruh dunia di sekelilingnyapun menjadi tampak lebih baik, sebagaimana yang ia impikan. Bom-bom mulai meledak, gedung-gedung penyimpan data kartu kredit runtuh, dan “Segalanya akan baik-baik saja.”
Banyak orang yang menonton film ini akan berkata bahwa tak seorangpun yang merasakan hal seperti yang dirasakan oleh para pemain di film ini. Kalau demikian, maka aku, kami disini, adalah orang-orang pertama yang akan mengacungkan tangan tanda keberatan. Sebagaimana yang telah kukatakan di awal, bahwa subyek alienasi dalam realitas seseorang seringkali menuju pada destruksi diri, karena hanya itulah yang dapat dilakukan seseorang dalam isolasinya. Dalam isolasi di penjara yang tak nampak seperti ini, banyak dari kita yang merasa terperangkap dalam dunia yang hanya mengenal jual beli, dunia pasar. Lalu mengapa beberapa orang gatal untuk melakukan sebuah revolusi seperti yang dilakukan orang-orang dalam film ini? Karena kapitalisme telah memberikan kita segalanya, tetapi mereka mengambil sisi sosial dalam diri kita, dan meninggalkan kita dalam kesendirian, walaupun kita berada di tengah kerumunan. Tidak seorangpun pernah merasakan hal ini? Baik. Tapi coba tanyakan pada ibu-ibu muda yang semenjak menikah tertimpa peran sebagai seorang “ibu rumah tangga”, yang melampiaskan kesepiannya dengan menonton telenovela, facebookan, berbelanja atau saling bertukar gosip. Tanyakan pada para suami mereka yang harus seharian bekerja di ruang-ruang sempit, dan pulang dalam keadaan lelah, beristirahat, hanya untuk kembali ke ruang-ruang tersebut keesokan harinya. Tanyakan pada seorang anak yang tak mampu menemukan seorangpun di rumahnya, mendengarkan keinginannya. Kami tahu seluruh generasi yang merasakan hal seperti ini. Kritik yang dilontarkan dalam film ini seakan bagi banyak dari kita menyatakan kalau orang-orang tersebut “sakit”. Baik. Tapi siapa yang membuat mereka–atau kita–semua merasakan hal tersebut? Ingat ucapan Tyler, “Aku adalah tanggung jawabmu.” Masalahnya mungkin banyak dari kita yang masih selalu berpikir bahwa apapun yang kita lakukan selama tak bersinggungan langsung dengan orang lain, merasa bahwa apapun yang kita lakukan tersebut tak memiliki kaitan dengan orang lain. Kita selalu berpikir bahwa hidup kita tak saling berkaitan, bahwa semua orang dapat hidup hanya dengan dirinya sendiri. Tapi sadarkah kita, bahwa perasaan kita itu sendiri yang menjadi bukti bahwa kita ada dalam sebuah isolasi? Bahwa kita tak pernah bersinggungan dengan orang lain? Dan bukankah kita sering merasa kesepian dalam keadaan yang kita jalani ini? Dan hal ini juga sudah dikatakan oleh Tyler, “Kita memiliki depresi terbesar dalam hidup kita sendiri. Kita memiliki sebuah depresi spiritual."
0 komentar :
Posting Komentar