Cinta Kaum Borjuis
Ada suatu yang patut ditangisi
Aku kira kau pun tahu
Masyarakatmu, masyarakat borjuis
Tiada kebenaran disana
Dan kalian selalu menghindarinya
Aku selalu serukan (dalam hati tentu)
”Wahai, kaum proletar sedunia”
Berdoalah untuk masyarakat borjuis.
Ada golongan yang tercampak dari kebenaran
Dan berdiri atas nilai kepalsuan
Aku kira, tiada bahagia disana
Sebab tiada kasih, kebenaran dan keindahan
Dalam kepalsuan
Aku akan selalu berdoa baginya
(aku sendiri tak percaya pada doa)
Aku kira anda tiada kenal kasih (Nafsu tentu ada)
Apakah bernilai dengan uang
Dan padamu, kawan
Semua adalah uang, perhitungan saldo
Tiada yang indah dalam kepalsuan (Engkau tentu yakin?)
Di sinilah a moral ditutup oleh a moral
Di sinilah tabir-tabir yang terlihat
Dan seringkali aku bersepeda sore-sore
Bertemu dengan gadismu (borjuis pula)
Aku begitu sedih dan kasih
Aku begitu sedih dan kasih
Ya, Tuhan (aku tak percaya Tuhan)
Berilah mereka kebenaran
Aku tahu
Gadis cantik di mobil, bergaun abu-abu
Tapi bagiku tiada apa.
(sok hok gie)
Budaya borjuis (kelas masyarakat dari golongan menengah ke atas) telah berkembang dan merubah semua tatanan budaya masyarakat yang usang, semua mengikutinya dengan sendirinya maupun dengan paksaan. Budaya konsumsi, budaya party, gaya hidup, gaya pergaulan merupakan settingan dari penguasa, yaitu borjuis. Sampai hal yang paling remeh-temeh mengenai yaitu “cinta”. Borjuis sangat berkepentingan dengan “cinta” sebagai objek komoditas penghasil capital dan menjadikan surplus value. Kebudayaan bersifat politis karena ia mengekspresikan relasi sosial kuasa kelas dengan cara menaturalisasikan tatanan sosial sebagai suatu “fakta” niscaya, sehingga mengaburkan relasi eksploitasi di dalamnya. Jadi kebudayaan sangat ideologis.
Mengapa masyarakat tidak mengerti akan hal itu, akan tetapi masyarakat tambah bersemangat atas budaya borjuis tersebut. Hal ini lah yang disebut Marx dengan alienasi. Betapa tidak, masyarakat memuja budaya borjuis, karena budaya borjuis meyediakan kesenangan. Borjuis menyediakan ruang untuk seluruh masyarakat, dari gaya busana masa kini untuk membuat percaya diri atau guna menarik pasangan, sampai peralatan kecantikan modern guna membuat para perempuan menjadi perempuan yang ideal di mata budaya borjuis.
“Cinta” pun sabagai komoditas, “cinta” dideskontruksi ulang oleh borjuis. “Cinta” menjadi satu komoditas kaum borjuis dengan mengekploitasi kata “cinta” dengan tujuan menghasilkan surplus value. “Cinta” sebagai kepentingan yang eksploitatif, cinta telah benar-benar menjadi budaya borjuis, sebagai alat untuk meng-hilang-kan kesadaran akan melawan dari realitas yang menindas.
Budaya borjuis, mau tidak mau harus di-revolusi-kan, diganti dengan budaya baru, budaya yang mulai tumbuh dan berkembang yaitu budaya proletar. Budaya proletar, menempatkan budaya sebagai mestinya. Budaya proletar memberikan suatu cara pandang baru. Ke-budaya-an yang setara dan revolusioner, mengembalikan makna “cinta” yang membebaskan manusia dari eksploitatif budaya borjuis. Penghargaan besar bagi budaya proletar, yaitu budaya yang menempatkan perempuan pada posisi yang setara sebagai “subjek” yang progresif. Begitu pula budaya proletar akan mendenkonstruksi makna “cinta” yang kormersil, eksploitatif, akumulatif-surplus value menjadi “cinta” yang sadar akan dirinya dan realitas. “Cinta” sebagai relasi yang setara, revolusioner dalam suatu peradaban yang maju, tanpa ada penindas dan ditindas. “Cinta” tak lagi berkelas.
“Cinta” pun sabagai komoditas, “cinta” dideskontruksi ulang oleh borjuis. “Cinta” menjadi satu komoditas kaum borjuis dengan mengekploitasi kata “cinta” dengan tujuan menghasilkan surplus value. “Cinta” sebagai kepentingan yang eksploitatif, cinta telah benar-benar menjadi budaya borjuis, sebagai alat untuk meng-hilang-kan kesadaran akan melawan dari realitas yang menindas.
Budaya borjuis, mau tidak mau harus di-revolusi-kan, diganti dengan budaya baru, budaya yang mulai tumbuh dan berkembang yaitu budaya proletar. Budaya proletar, menempatkan budaya sebagai mestinya. Budaya proletar memberikan suatu cara pandang baru. Ke-budaya-an yang setara dan revolusioner, mengembalikan makna “cinta” yang membebaskan manusia dari eksploitatif budaya borjuis. Penghargaan besar bagi budaya proletar, yaitu budaya yang menempatkan perempuan pada posisi yang setara sebagai “subjek” yang progresif. Begitu pula budaya proletar akan mendenkonstruksi makna “cinta” yang kormersil, eksploitatif, akumulatif-surplus value menjadi “cinta” yang sadar akan dirinya dan realitas. “Cinta” sebagai relasi yang setara, revolusioner dalam suatu peradaban yang maju, tanpa ada penindas dan ditindas. “Cinta” tak lagi berkelas.
0 komentar :
Posting Komentar