Alienasi Posmodern, Destruksi Diri, Revolusi, dan Fight Club (Part.1)

Kamis, 12 September 2013

Alienasi Posmodern, Destruksi Diri, Revolusi, dan Fight Club (Part.1)



- "We cook your food; we haul your trash; we place your calls; we guard you while you are sleeping. Do not fuck with us.”

- “You are not the things you own. The things you own will end up owning you.”

- "Do you know what a duvet is? It's a blanket. Just a blanket. Now why do guys like you and me know what a duvet is? Is this essential to our survival, in the hunter-gatherer sense of the word? No. What are we then? Right. We are consumers. We're the bi-products of a lifestyle obsession."

- "Self improvement is masturbation. Now self destruction..."

(Tyler Durden, Fight Club)


Mungkin pengembangan diri bukan jawaban.Mungkin justru destruksi diri jawabannya,” kata Brad Pitt dalam film Fight Club. Alienasi, destruksi diri dan revolusi telah menjerat dengan ketat beberapa waktu lamanya di dunia modern ini. Seseorang cukup hanya dengan membeli “Nevermind The Bollocks Here's The Sex Pistols” dan ia telah mabuk dalam anarki. Sid Vicious, anggota Sex Pistols, menghancurkan dirinya dengan obat-obatan. Johnny Rotten, vokalisnya, mempromosikan revolusi dengan musiknya, dengan lagunya seperti “Anarchy in the UK” dan “God Save the Queen”. Ia menulis, “When there's no future, how can there be sin, we're the flowers in the dust bin, we're the poison in the human machine. We're the future. Your future. God save the Queen”. Ini benar-benar ide yang sama yang mendasari dan ingin diekspresikan dalam film (dan buku) Fight Club, yang dibintangi oleh Brad Pitt, Edward Norton dan Helena Bonham Carter. Ia adalah ketergesaan skizofrenik yang meninggalkanmu dalam keadaan sesak saat segalanya telah berakhir. Ini adalah film tentang bagaimana kapitalisme dan konsumerisme telah meninggalkan para pekerja hariannya dalam ilusi-ilusi industri. Narator dalam kisah ini tidak memiliki nama sepanjang filmnya. Kita bertemu dengan narator dan seseorang yang sedang menodongkan pistol ke mulut sang narator. Narator tersebut mulai untuk mengisahkan hidupnya tentang bagaimana ia kini berada di tempat seperti saat film dimulai. 

Narator memulai segalanya dari kondisinya yang insomnia. Ada sebuah gambaran besar dari narator bahwa insomnia membuat seluruh dunia terasa jauh. Sang narator bekerja dalam sebuah pekerjaan yang buntu. Ia jelas merupakan tipikal seseorang yang lulus dari universitas dan tak tahu apa yang ia inginkan yang pada akhirnya berakhir di ujung dunia posindustrial yang kota asalnya, ia bertemu dengan Tyler Durden, seorang penjual sabun yang menunjukkan bahwa di pamflet kecil yang selalu terdapat di bangku penumpang, “In Case of an Emergency”, semuanya menggambarkan orang-orang tentang bagaimana menghadapi kematian dengan sabar, tanpa ekspresi wajah dan malah nyaris tersenyum. Narator tertarik sekali dengan hal ini. Hal ini memperlihatkan masyarakat kita, bagaimana dalam kondisi krisis, lebih diarahkan untuk dibuat bagaimana caranya agar tidak panik, bukannya memfokuskan pada bagaimana caranya menyelamatkan hidup itu sendiri. Disini juga ditekankan sebagai sebuah parodi tentang bagaimana dalam masyarakat kita, hidup menjadi sesuatu yang tak penting, sebagai sesuatu yang tak perlu diresapi. Salah satunya adalah dengan cara menyepelekan kematian.

Ada sebuah sisi yang tak kalah menarik dari pemilihan kata Tyler Durden itu sendiri–yang terepresentasikan sebagai potongan kepribadian sang narator, dan manifestasi dari pemenuhan harapannya. Dalam bahasa Inggris kuno, “Tyler” berarti penjaga gerbang atau bisa juga pembangun rumah. “Durden” memiliki akar kata yang berarti keras, teguh (sebagaimana juga dalam kata “durable”). Inisialnya, menjadi T.D, yang menyatakan Todd atau kematian dalam bahasa Jerman, dan apabila menggunakan penyusunan nama versi Inggris, menjadi D.T (delirium tremens), semenjak Tyler adalah halusinasi dari sang narator. Dalam kamus psikologi, sang narator, yang dirinya seakan dibangkitkan, ia memiliki kepribadian ganda yang masalahnya adalah dimana ia menjadi semakin melemah sementara Tyler semakin dominan akibat dorongan bawah sadarnya yang mendambakan dirinya sebagai seseorang yang mampu melepaskan dirinya dari derita alienasi yang seakan tak kuasa ia hadapi.

Tyler adalah teroris amatir yang memiliki tiga pekerjaan. Satu adalah sebagai seorang operator proyektor, dimana pekerjaannya adalah menyambung-nyambungkan reel film. Pekerjaan lainnya adalah sebagai seorang waiter di sebuah restauran yang cukup ternama. Ia menyisipkan gambar-gambar penis dan vagina ke dalam film-film seperti Bambi dan mengencingi sop-sop yang akan dimakan oleh orang-orang kelas atas yang selalu memperlakukannya seperti kotoran di restauran. Tyler juga adalah seorang penjual sabun yang cukup sukses, bahan dasar yang juga ia dapat gunakan sebagai peledak.

Berbicara mengenai keusilan Tyler dalam menyelipkan potongan film porno dalam film keluarga, apabila kita teliti, ternyata hal tersebut tidak hanya dilakukan dalam cerita tetapi juga dalam film itu sendiri. Tyler sebenarnya telah hadir sebagai sebuah sosok karakter di awal-awal sang narator belum bertemu Tyler. Ia muncul dalam frame-frame satuan yang disisipkan dalam keseluruhan film ini, jadi memang agak sulit menyadari bahwa sudah sejak sang narator berkisah mengenai insomnianya, Tyler telah muncul.

Setiap aksi yang dilakukan oleh Tyler memiliki implikasi dalam skala besar, sebuah pemberontakan melawan standar nilai masyarakat. Dalam buku Fight Club yang ditulis oleh Chuck Palahniuk pada tahun 1996, Tyler berkata, “Bagimu dan juga bagi dunia ini, aku adalah sampah, kotoran dan kegilaan. Engkau tak peduli dimana aku hidup dan bagaimana perasaanku, atau apa yang kumakan atau bagaimana aku memberi makan anak-anakku atau bagaimana aku membayar dokter apabila aku sakit, dan ya, aku bodoh dan membosankan dan lemah, tetapi aku adalah bagian dari tanggung jawabmu.” 

Sebelumnya, kita para audiens, sampai pada scene dalam pesawat terbang, sang narator berkata sesuatu yang sangat mendalam, “Orang-orang yang kukenal yang seharusnya duduk di kamar mandi dan membaca pornografi, sekarang mereka duduk di kamar mandi dengan katalog furnitur IKEA mereka.” Kamera kemudian memfokuskan pada setumpuk majalah, sebuah majalah Playboy yang tertutup oleh katalog Sears. Konsumerisme telah mengambil alih hidup seluruh generasi. Bisnis besar telah menghentikan kita semua sepanjang hidup kita dari pengenalan akan kenikmatan. Ada sebuah metafora disini. Setelah pertemuan dengan Tyler, sang narator mendapati apartemennya meledak, dan satu-satunya yang ia pikir dapat hubungi hanyalah Tyler. Sang narator menelefon Tyler di box telefon sesaat setelah apartemennya meledak, dengan seluruh milik pribadinya hancur. Lalu saat bertemu Tyler Durden, membahas mengenai mapartemennya yang hancur, Tyler hanya berkata, “Kadang sesuatu yang engkau miliki akan berbalik memilikimu.” 

Kemudian dalam film sang narator dan Tyler sedikit mabuk akibat minum di bar, dan di pintu keluar Tyler menawari tempat untuk tinggal pada sang narator, tetapi ia meminta sesuatu, “Aku ingin engkau memukulku sekeras yang engkau mampu”. Maka mereka terlibat dalam sebuah perkelahian dan oleh karena satu dan lain sebab, mereka menikmatinya. Banyak para audiens yang akan kebingungan melihat bagaimana bisa mereka mendapat kenikmatan dari hal seperti itu. Jawabannya adalah karena kini mereka telah menempatkan diri dalam jalur destruksi diri, kehilangan kepemilikan material dan identitas yang mengerikan. Alasan bagi destruksi dirinya adalah bahwa mereka menghancurkan hidup yang mereka miliki setiap hari hanya demi sesuatu yang dianggap lebih besar. Mereka membagi perasaan tersebut saat berkelahi; mereka telah menjadi dewa atas hidup mereka sendiri. Mereka memiliki kontrol yang tak pernah mereka miliki sebelumnya. Lalu beberapa orang melihat mereka dan kemudian bergabung. Hal kemudian yang kita semua tahu adalah bahwa mulai terbentuk sebuah klub berkelahi ilegal. Inilah Fight Club. Tyler menyusun aturan-aturan bagi klub tersebut, saat semakin banyak orang yang hadir setiap minggunya. Tyler menampilkan dirinya sebagai seorang yang telah banyak mengerti segala hal, berbagai versi dalam Buddhisme, kultur masa lalu, filsafat dan terlebih lagi bidang kimia.

Jurnal Apokalips


 

0 komentar :

Posting Komentar