Sang Kekasih

Jumat, 23 Agustus 2013

Sang Kekasih




“Love itself is a pain, you might say—the pain of being truly alive.”
—Joseph Campbell

“...but who want to die without a scar, anyway?”
—Tyler Durden

Bulan Ramadhan, umat muslim selama sebulan diminta untuk melatih diri agar dapat lebih mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu yang oleh banyak orang sering diasosiasikan sebagai godaan dan bisikan setan. Setan yang bersumpah untuk menghancurkan manusia, dengan cara menjauhkan manusia dari Tuhan-nya.

Mengapa setan mengikrarkan sumpah melawan manusia?
Sebuah mitos di Persia berkata bahwa setan dikutuk selamanya berada dalam neraka karena ia terlalu mencintai Tuhan.

Ada sekian banyak pemikiran mengenai setan, dan semuanya selalu berdasarkan pada pertanyaan: Mengapa setan dilemparkan ke neraka? Kisah umum mengenainya adalah sebagai berikut, saat Tuhan menciptakan para malaikat, Ia memerintahkan mereka semua untuk tunduk hanya kepada diri-Nya. Lantas ia menciptakan manusia, yang mana Ia tahbiskan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan malaikat yang tak memiliki ujud fisik. Ia juga memerintahkan para malaikat untuk melayani manusia. Masalahnya, sebagian dari para malaikat ini, setan, tak mau bersujud pada manusia.

Pada titik tersebutlah, berbagai kisah bermunculan dalam berbagai versi. Pada agama seperti Islam dan Kristen (termasuk berbagai variannya), hal tersebut dianggap sebagai penentangan setan terhadap kehendak Tuhan. Tetapi uniknya, dalam mitos Persia dikatakan, bahwa setan tak dapat bersujud pada manusia karena kecintaannya pada Tuhan—ia tak dapat bersujud selain hanya kepada Tuhan semata. Tuhan memerintahkan bahwa demi kecintaan pada diri-Nya, Ia ingin agar setan bersujud pada manusia—tapi bagi setan hal tersebut adalah pengingkaran, dan ia menolak. Setan tak dapat mencintai siapapun, selain hanya Tuhan. Setan memberontak. Pemberontakan pertama yang terjadi di taman firdaus. Lantas Tuhan murka dan berkata, “Pergilah dari hadapan-Ku. Pergilah ke neraka.”

Kita kini mengenal kisah jatuhnya malaikat. Fallen angel. Lucifer—yang bersumpah akan menghancurkan manusia.

Neraka yang menjadi tempat bersemayam setan, penderitaan tertinggi di dalamnya, sebagaimana neraka dideskripsikan dalam mitos tersebut, adalah ketiadaan Ia yang dicintai—dalam hal ini adalah ketiadaan Tuhan. Neraka bukanlah tempat yang penuh api, di mana ribuan manusia telanjang disiksa dengan alat-alat yang ada di sekitar kita sehari-hari dari gunting hingga setrika dan minum air mendidih bercampur nanah sebagaimana yang digambarkan dalam buku-buku komik “religius” tapi anehnya penuh berisi ilustrasi perempuan berpose telanjang, darah dan kekerasan. Tidak. Dalam mitos ini neraka bukan lagi sebuah tempat, melainkan kondisi. Lalu bagaimana setan dapat menanggung semua penderitaan neraka? Tak lain dan tak bukan, hanya dengan ingatan akan gema suara Tuhan saat Tuhan berkata, “Pergilah ke neraka.”

Dari mitos tersebut, apa yang kudapat adalah bahwa neraka terburuk yang dapat dipahami adalah saat seseorang dipisahkan dari yang dicintainya. Mitos Persia tersebut juga membantuku memahami mengapa manusia selalu diingatkan untuk menjauhi bujukan setan, bukan karena setan adalah sekedar ikon kejahatan, yang karenanya bersumpah untuk menghancurkan manusia. Setan adalah pecinta Tuhan, yang bersumpah menghancurkan manusia, makhluk yang telah merenggutnya dari Tuhan yang begitu ia cinta. Seluruhnya menjadi sebuah kisah cinta yang tragis.

*****

Mitos Persia lain berkata tentang pasangan orangtua. Kisahnya bermula pada saat bumi masih dihuni hanya oleh tetumbuhan, jauh sebelum binatang dan manusia eksis (uniknya, apabila kita mempelajari arkeologi dan biologi, secara ilmiah dapat diprediksikan bahwa makhluk pertama yang ada di atas bumi adalah tumbuhan). Tumbuhan ini memisahkan diri, menjadi dua dan dari keduanya lahirlah anak-anak. Kedua orangtua tersebut begitu mencintai anak-anak mereka hingga mereka memakan semua anak-anaknya. Tuhan berpikir, “Hal ini tak dapat dibiarkan.” Maka Ia mengurangi sedikit kadar cinta orangtua, sehingga orangtua tak akan lagi memakan anaknya sendiri. Cinta yang begitu intens sehingga harus dikurangi. Sesuatu yang membuat di Barat sana hadir istilah, “love will eat you up.” Cinta akan memakanmu. Di era modern, ini adalah peringatan agar orangtua harus belajar untuk mengurangi kadar cinta mereka.

Dalam tradisi India, ada sebuah ritual di mana seorang ibu dibantu untuk melepaskan anaknya untuk pergi, khususnya anak lelaki. Saat seorang anak dianggap telah cukup umur, seorang tetua akan datang dan meminta pada sang ibu untuk memberikan apa yang menurutnya paling berharga. Sang ibu biasanya akan memberikan perhiasan atau apapun benda berharga yang ia miliki. Tak lama, sang tetua akan datang kembali dan meminta hal yang sama. Terus dan terus. Hingga sang ibu memberikan sang anak, maka sang tetua akan berhenti datang dan meminta. Sang ibu akan belajar untuk merelakan sang anak untuk menjalani hidup yang ia pilih sendiri.

*****

Seorang perempuan bertanya padaku, “Kenapa kamu nggak mau minta dia untuk tinggal?”

Aku menggeleng. Apa yang aku pahami selama ini adalah bahwa bahagia dan derita adalah dua hal yang melebur dalam cinta. Cinta adalah titik penting dalam perjalanan hidup seseorang. Dan semenjak hidup adalah sebuah penderitaan, sebagaimana yang diwartakan oleh Nietzsche, demikian jugalah cinta adanya. Semakin kuat cinta yang dimiliki seseorang, semakin kuat jugalah derita yang harus ditanggung. Kebesaran cintamu, dapat diukur dari seberapa besar engkau dapat menanggung derita yang hadir karenanya.

Cinta akan membuat kita semua mampu menanggung apapun. Termasuk melepaskan pergi ia yang kita cinta, untuk mengarungi hidup yang ia tentukan sendiri.

Cinta itu sendiri adalah derita. Derita karena dengannya kita sadar bahwa kita benar-benar hidup. Hanya mereka yang berani mencintalah yang berani mengarungi samudera kehidupan.

Seraya memelukku, perempuan tersebut berkata lagi, “Saya tau kamu selalu bersedih atas kepergiannya. Saya tau kesedihanmu nggak pernah pergi darimu. Saya nggak pernah ngerti kenapa kamu selalu ngebiarin dia pergi.”

Dalam pelukannya, ia tak tahu bahwa aku tersenyum. Ia tak tahu bahwa derita ini yang membuatku mampu bertahan hidup. Ia tak tahu bahwa cinta ini yang membantuku terus merindukan datangnya mentari esok hari. Ia tak tahu aku tersenyum. Mungkin ia juga tak paham mengapa aku justru tersenyum.

0 komentar :

Posting Komentar